Potret Busana Masyarakat Klaten Masa Kolonial: Studi Arsip Digital KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) Tropenmuseum

Kerajaan-kerajaan Jawa, yaitu Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya), lahir pada tahun 1755, dari dibelahnya Mataram Islam. Kerajaan ini pada abad ketujuh belas telah memegang hegemoni atas wilayah seluas hampir seluruh Pulau Jawa, demikian seperti dipaparkan Vincent J.H Houben dalam karyanya, Kraton dan Kompeni. Kondisi politik dan kepentingan penguasa kolonial saat itu, Vereedigde oost Indische Compagnie (VOC) menyebabkan terjadinya pembagian wilayah yang lazim dikenal sebagai Perjanjian Giyanti (Atmakusumah, 2011: 126). Peristiwa palihan nagari yang dikukuhkan dengan Perjanjian Giyanti tersebut juga diikuti dengan adanya Perjanjian Jatisari pada tahun yang sama.

Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, taritarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Berdirinya Keraton Yogyakarta melahirkan sejumlah simbol atau atribut kebangsawanan yang berbeda dengan Surakarta. Pada waktu itu kemudian dikembangkan busana adat yang mempunyai corak tersendiri (Condronegoro, 1995: 9-11).

Latar belakang pembagian wilayah dan kebudayaan tersebut menjadi dasar bagi peneliti untuk mengkaji gaya berpakaian masyarakat Klaten pada masa lalu. Wilayah Klaten pasca palihan nagari menjadi bagian dari Surakarta, beserta kebudayaannya. Namun, kedekatan secara letak geografis dengan Yogyakarta, membuat Klaten menjadi satu wilayah yang istimewa karena secara umum saat ini menggunakan busana gaya Surakarta.

Busana dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai pakaian atau baju. Namun demikian pengertian busana dan pakaian terdapat sedikit perbedaan, dimana busana mempunyai konotasi “pakaian yang bagus atau indah” yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak di pandang, nyaman melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan tempat dan momen atau kesempatan. Busana dalam pengertian luas adalah segala sesuatu yang dipakai mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki yang memberi kenyamanan dan menampilkan keindahan bagi si pemakai.

Busana orang Jawa secara umum tercantum pula dalam karya Thomas Stamford Raffles, History of Java. Dalam sejarahnya busana yang paling umum dipakai semua kalangan di Pulau Jawa adalah kain sarung, berupa sehelai kain bercorak dengan panjang 6-8 kaki dan lebarnya 3-4 kaki, dijahit di kedua sisi bentuknya seperti karung tanpa alas yang dijahit (Raffles, 2014: 52). Masyarakat Jawa mempunyai pola-pola busana yang lebih beragam. Untuk petani kebanyakan menggunakan motif tartan, untuk kalangan bangsawan lebih menyukai batik Jawa atau kain yang dilukis (Raffles, 2014: 54). Pemaparan mengenai potret busana masyarakat Klaten di masa kolonial ini dilakukan dengan mengamati sumber sezaman berupa foto dari koleksi digital KITLV (Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- En Volkenkunde) dan Tropenmuseum. Foto yang diamati berupa kegiatan seremoni peletakan batu pertama tahun 1936 untuk melihat busana resmi para pejabat pemerintahan pribumi di masa itu. Kemudian, foto bersama kegiatan Kursus Guru Desa Kasunanan di Klaten tahun 1928.

A. Busana Para Pejabat Pemerintahan di Klaten (1936)

Busana para pejabat pemerintahan saat itu, dapat disaksikan dalam acara-acara resmi yang dilaksanakan bersama dengan pejabat Belanda, seperti residen. Acara-acara resmi tersebut salah satunya terekam dalam foto pada koleksi digital KITLV nomor A636. Keterangan pada foto tersebut adalah Bupati Klaten meletakkan batu, kemungkinan sebagai pondasi untuk pintu masuk, pembangunan ruas jalan tenggara Klaten. Terdapat pula keterangan berbahasa Jawa Boepati Klaten pasang banon dan Boepati Klaten pasang laboer. Sementara dalam sampul album bagian dalam bertanggal pensil 22 Agustus ’36.

Masih dalam seremoni yang sama, Bupati Klaten (berdiri) menyapa kepala desa pada pembukaan ruas jalan di tenggara tempat ini. Teks Jawa yang menyatu dengan foto bertuliskan keterangan Boepati Klaten paring wangsoelan loerah serta Ass Wedono Tjawas sarto Semin ngampil tjetok. Album di sampul dalam bertanggal pensil 22 Agustus ’36. Batu bata dan sekop yang dipegang mungkin digunakan dalam seremoni peletakan batu pertama. Keterangan lebih lanjut pada website KITLV, mungkin, fondasi untuk sebuah pintu masuk, karena pembukaan ruas jalan di dekatnya.

Foto-foto seremoni tahun 1936 yang berada dalam album KITLV-A636 menunjukkan bahwa bupati, asisten wedana, serta lurah mengenakan busana yang mirip dengan beskap, berwarna terang, kemungkinan besar putih. Blangkon nampak bergaya Surakarta dan bawahan yang dikenakan juga bergaya Surakarta apabila dilihat dari wiru kainnya. Salah satu foto menunjukkan orang yang memakai blangkon serta wiru kain gagrak Yogyakarta, kemungkinan karena Semin masuk ke dalam wilayah Kasultanan Ngayogyakarta saat itu.

B. Busana para Golongan Terpelajar

Sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda, Klaten yang berada di Jawa Tengah tentunya juga merasakan perkembangan pendidikan pasca politik etis. Secara umum, busana yang dikenakan golongan ini, sama dengan para priyayi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar golongan terpelajar adalah orang kaya maupun anak-anak dari para priyayi. Namun, menarik untuk diperhatikan, bahwa gaya busana yang dipakai oleh golongan terpelajar saat itu ada yang mengombinasikan atasan berupa jas dan bawahan berupa batik.

Foto busana para golongan terpelajar ini dapat dilihat dari koleksi KITLV 77309 dengan keterangan pelajar Jawa kelas 2 Inlandsche School di Klaten, diduga berpose pada kesempatan lulus kursus guru desa kasoenanan. Latar tempat yang digunakan adalah perpustakaan Inlandsche School yang berada di Klaten. Tertera keterangan tanggal 17 Februari 1928 dalam papan tulis di tengah.

Sebagian besar atasan yang digunakan berwarna putih, berkancing, serta memiliki kerah tegak dan semacam saku di bagian atas. Ada satu orang yang mengenakan jas berwarna putih dengan dasi kupu-kupu. Semua orang dalam potret tersebut nampak menggunakan penutup kepala dengan gaya Surakarta. Bawahan yang nampak dikenakan merupakan kain batik dengan wiru di bagian depan. Beberapa nampak mengenakan alas kaki setupa selop, namun yang lainnya bertelanjang kaki.

REFERENSI

Sumber Foto

KITLV A636 – 53958 De regent van Klaten legt een steen, vermoedelijk als fundament voor een toegoe, vanwege de openstelling van een ten zuidoosten van Klaten gelegen wegdeel.

KITLV A636 – 53957 De regent van Klaten smeert cement uit voor het leggen van een steen, vermoedelijk als fundament voor een toegoe, vanwege de openstelling van een ten zuidoosten van deze plaats gelegen wegdeel.

KITLV A636 – 53955 De regent van Klaten (staande) spreekt dorpshoofden toe bij de openstelling van een ten zuidoosten van deze plaats gelegen wegdeel.

KITLV A636 – 53956 De assistent-wedana’s van het ten zuidoosten van Klaten gelegen Tjawas en Semin met bakstenen en troffel voor het leggen van, vermoedelijk, het fundament voor een toegoe, vanwege de openstelling van een nabij gelegen wegdeel.

KITLV A142 – 77309 Javaanse studenten uit de 2de klas van de Inlandsche School te Klaten, poseren vermoedelijk ter gelegenheid van het behalen van de cursus goeroe desa kasoenanan.

Buku

Atmakusumah (ed.). (1982). Tahta Untuk Rakyat. Jakarta: Gramedia.

Condronegoro, Mari S. (1995). Busana Adat Kraton Yogyakarta: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Houben, Vincent J.H. (2017). Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Raffles, Thomas Stamford. (2017). History of Java. Yogyakarta: Narasi.

 

Kontributor

Brilliantoro Yusuf Ervanda

Satria Arif Pratama

Editor 

Pandji Saputra

Rosita Nur Anarti